HIRAHIRA - Hijab Untuk Kamu

Bab 1 - Pertemuan Pertama

Ada sebuah kota di suatu tempat di Jepang, terdapat sebuah jembatan besar yang memisahkan orang-orang kaya yang tinggal di bagian utara sementara mereka yang miskin hidup di daerah selatan.
Shun, yang tinggal di daerah selatan jembatan sedang menyaksikan matahari terbenam seorang diri.

Tiba-tiba, dia mendengar seseorang bernyanyi. Dia berbalik dan melihat sosok berpakaian rapi, tertutup dari kepala sampai kaki. Kerudung hijau di kepalanya berkibaran ditiup angin, menyingkap wajahnya dari tepi.
Dia tidak terlihat seperti orang Jepang.
“Suaranya begitu indah, tapi bahasa Jepangnya amat aneh gitu.”
Ketika dia melihat lebih dekat, disadarinya perempuan itu sedang menangis.

“Apakah kamu baik-baik saja? Kamu tampaknya seperti ada masalah."
"Ibuku menulis lagu dalam Bahasa Jepang. Dia mengajariku bahasa itu dan lagunya, namun aku lupa bagaimana cara membaca bait yang tertentu itu karena begitu sulit.”
“Apakah kamu butuhkan bantuan? Aku bisa membimbing kamu."
"Benarkah? Kamu tidak keberatan membantuku?"
"Ini hanya masalah kecil. Lagi pula, aku tidak suka melihat orang sedih."

Dia mengulurkan tangannya.
"Aku Shun. Aku tinggal di sekitar sini. Aku belum pernah melihat kamu di sini sebelumnya, kamu bukan dari sini, kan?”
Dia menatap tangannya, tampak ragu.
“Umm...aku Rania. "Maaf tapi aku tak bisa menjabat tanganmu."
Shun tidak mengerti maksudnya tetapi dia perlahan menarik tangannya. Keadaan jadi agak canggung.
“Aku dari luar negeri.”

Terdengar bunyi kibaran kerudungnya yang amat menenangkan apabila angin mula bertiupan sekali lagi.
“Aku suka bunyi kibaran kain kamu – HIRAHIRA.” katanya sambil menunjuk ke kerudung di kepala Rania.
“HIRAHIRA? Apa itu?”
“HIRAHIRA menggambarkan bunyi kibaran kain apabila ditiup angin.”
“Kain ini disebut sebagai hijab.”
“Hijabu?”
Shun belum pernah dengar sebelum ini.
“Hadiah berharga dari ibuku yang kusimpan dengan teliti.”
Bab 2: Keinginan yang kuat

“Bisa aku sentuh hijab kamu?”
“Bisa.”
Ketika dia menyentuhnya, dia terkesiap kerana menyadari betapa tingginya kualitas hijab itu.
“Kamu tampaknya tertarik pada hijab saya.”
“Oh, karena saya bekerja di pabrik tekstil Yamato.”
“Bekerja? Bukankah kamu seharusnya masih bersekolah?”
“Aku bekerja sepulang sekolah. Lagi pula, aku harus bekerja, untuk menampung kehidupan seharianku.”

Rania melihatnya dari tepi. Dia bertanya-tanya apa Shun maksudkan.
“Setelah orang tuaku meninggal, bosku, Nishi-san mengasuhku, memberiku tempat untuk tidur dan bekerja.”
Hatinya pilu, mengetahui pemuda yang penuh senyum ini memiliki masa lalu yang sedih.
“Bagaimana kamu bisa kuat, Shun-kun?”

Shun hanya bisa tersenyum.
“Ibuku juga telah meninggal. Rasa sedihnya begitu dalam, hingga kini pun aku belum bisa pulih dari kehilangan ini.”
Shun amat mengerti perasaan Rania.
“Ibumu di surga, akan lebih bahagia jika kamu tersenyum daripada menangis.” Shun berbalik dan menatapnya.
“Lagu itu, setelah kamu telah menguasainya dengan baik, mari kita nyanyikan bersama-sama.”
--------------------
Sementara itu, Sato, seorang agen yang ditugaskan untuk menjaga Rania dan ayahnya, sedang menunggunya di luar hotel.
Akhirnya, dia melihat Rania berjalan ke arahnya.
“Dari mana saja, Rania-san?” tanya Sato.
“Aku pergi keluar untuk bermain.”
Dia masuk ke dalam seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi. Sato segera mengikutinya.
“Turuti saranku, dan jangan pergi ke bagian selatan jembatan, oke? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk? Apa yang harus kukatakan pada ayahmu?”
“Aku hanya ingin sendiri.”
Rania kembali ke kamarnya.
“Tidak ada gunanya jadi orang baik, ha?”
Ekspresi Sato berubah.
Bab 3: Harta yang berharga

“Saya hanya mengkhawatirkan keselamatannya, Pak.” kata Sato kepada ayah Rania.
“Saya hanya khawatir, Pak. Dia bisa bertemu dengan orang jahat. Ada sebuah daerah yang banyak orang miskin berkeliaran di seberang jembatan. Aku tidak ingin dia pergi ke sana. Orang-orang jelek itu sangat jahat.”
“Aku paham. Terima kasih, Sato.” sambil menepuk bahunya.
Sato berbisik ke salah satu anak buahnya setelah ayah Rania kembali ke kamarnya.
“Aku ingin kau mengikutinya. Kalau ada apa-apa, beri tahu aku.”
------
Hari berikutnya, mereka berjanji untuk bertemu di tepi sungai. Dia membawa buku berisi lirik yang ditulis oleh almarhum ibunya.
“Rania-chan, mengapa kamu perlu menutup kepalamu dengan hijabu ini?”
“Karena agamaku, hijab ini sebagai ungkapan kerendahan hatiku. Dengan demikian, di mana pun kita berada, kita harus memakai pakaian yang sederhana dan menjaga perilaku kita. Kamu benar-benar ingin tahu banyak hal, Shun-kun.”
“Ya, karena aku belum pernah bertemu orang sepertimu sebelumnya.”

Shun mencoba menyanyikan lagu itu bersama Rania. Perlahan-lahan, dia mampu menyanyikannya dengan baik.
Matanya berangsur jadi cerah. Shun merasa bahagia untuknya.
“Rania-chan, sekarang kau tahu cara menyanyikan lagu itu dengan benar, aku berharap kamu akan terus tersenyum mulai sekarang.”
Bab 4: Firasat

“Sutra mesra cuci?” tanya Shun.
“Ya, sutra biasanya sensitif dan sulit untuk dicuci sendiri di rumah, kan? Kita akhirnya dapat melakukannya! Jadi, dengan sutra mesra cuci ini, reputasi YAMATO akan melonjak tinggi!" jelas Hide, orang kanan Nishi, dengan bangganya.
Mata Shun melebar dengan penuh kekaguman. Teknik WAZA yang ditampilkan oleh para pekerja di pabrik tekstil Yamato benar-benar yang terbaik di Jepang.
------
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Shun menuju ke sungai dan menunggu Rania.
Saat Rania mendekatinya dari belakang, didengarnya Shun sedang menyanyikan lagu itu.
“Rania-chan, mari kita menyanyikan lagu ini bersama-sama.”
Rania duduk di sampingnya dan mereka mulai bernyanyi.

Mereka sedang senang menghabiskan waktu bersama apabila suara seorang pria berseru dari belakang.
“Rania-san, aku sudah bilang jangan pergi ke daerah selatan jembatan, bukan?”
Anak buahnya menyambar kedua lengannya.
Shun tertegun karena tidak bisa memahami apa yang baru saja terjadi.
Bab 5: Sobekan Hijab

Saat anak buah Sato membawanya pergi, ujung hijab Rania tersangkut di salah satu cabang pohon dan akibatnya tersobek.
Rania tak bisa berkata apa-apa.
“Hei kamu, jangan terlalu berharap dia akan jadi temanmu.“ kata Sato pada Shun.
“Dia sudah jadi temanku.” Shun menegaskan.
Sato mendengus dan kemudian berlalu pergi.
“Sekarang kamu berteman dengan anak miskin semacam itu?”
Rania tetap diam.
“Aku akan memberitahu ayahmu bahwa kamu telah pergi ke daerah selatan. Aku tidak akan membiarkan kamu bertemu dengan bocah itu lagi.“
------
Shun kembali ke pabrik dengan sobekan hijab dalam genggaman tangannya. Nishi mendekatinya.
“Kau tidak apa-apa?”
“Ini hijab temanku. Sudah sobek.”
“Apakah itu sangat berharga?”
“Ini sangat berarti baginya.”
Nishi memandang dengan rasa sedih saat Shun masuk ke kamarnya.
------
Rania bercerita pada ayahnya tentang tindakan Sato.
“Dia melakukan semua itu untuk kebaikanmu juga. Ayah sudah dengar cerita tentang orang-orang yang tinggal di daerah selatan jembatan itu. Dengar nasihat kami, oke? Meskipun mereka mencoba untuk melindungimu, mereka juga menyesal terhadap hijab kamu yang sudah sobek itu.”
“Ayah, jangan percaya pada semua kabar angin itu. Ayah dan ibu mengajariku bersikap baik pada semua orang.”
Bab 6: Harapan

Rania duduk di sudut ruangan sambil memeluk hijabnya yang sudah sobek itu.
“Ibu... aku minta maaf karena tidak bisa menjaga hijab yang ibu sudah berikan pada aku…”
Rania mendengar Sato memberitahu ayahnya tentang Shun.
"Tidak... Shun-kun bukan orang seperti itu... Dia adalah teman terbaik yang pernah kutemui.”
------
“Nishi-san, aku ingin membuat hijab sutra untuk temanku!”
“Menguasai WAZA tidaklah mudah, Shun. Butuh banyak latihan dan kesabaran.”
“Aku bersedia untuk menerima apa saja tantangan, jadi kumohon...” Shun membungkuk.
“Baiklah. Aku izinkan kamu melakukannya. Aku ingin kau lakukan tugas ini secara serius dan jangan lalai, oke?”
Shun mengangguk dan berjanji akan buat yang terbaik.
Semua orang berkumpul untuk makan malam. Nishi mengumumkan kepada semua orang bahwa mulai besok Shun akan membuat hijab sutra.
“Kami di sini siap membantumu, Shun!” Semua orang di pabrik bersorak untuknya.
“Omong-omong, Shun, aku ingin kau menemaniku untuk mengirim sejumlah kain sutra untuk salah satu pelanggan yang sedang menginap di hotel. Agak berat jadi aku butuh bantuanmu.” kata Hide.
Bab 7: Menunggu

Shun dan Hide sampai di luar hotel.
Beberapa saat kemudian, pelanggan itu tiba. Hide bercakap dengannya.
“Wow, indah sekali!”
“Bos, terima kasih atas pembeliannya.”

Shun melihat di sekelilingnya dan kemudian melihat sosok yang dikenalnya, sedang duduk di bangku dengan wajah tampak bosan. Shun memperhatikan kepalanya ditutupi dengan hijab warna merah jambu.
“Rania-chan!” Shun memanggil namanya dengan suara pelan.
“Ini aku, Shun. Aku terkejut melihatmu di sini!”
“Shun-kun...” Air mata menetes saat ia mulai bicara.
Dia tidak bisa keluar untuk menemui Shun karena sikap diskriminasi Sato terhadap orang-orang dari daerah selatan.
Namun, dia bukannya marah karena diskriminasi Sato terhadap orang-orang seperti dia tetapi pada Sato karena sudah membuat Rania sedih.
“Rania-chan, aku akan menulis surat kepadamu dari sekarang.”
“Benarkah? Aku menantikan suratmu, Shun-kun.”
Setelah pembicaraan dengan pelanggan selesai, Hide dan Shun beranjak pulang.
----
Hari berikutnya, Shun bertemu dengan Taro, teman sejak kecilnya. Meskipun dia berasal dari keluarga kaya dan tinggal di daerah utara, Taro adalah sahabat Shun.
“Kau ingin aku memberikan suratmu padanya?” tanya Taro.
“Ya, bisakah kamu membantuku?”
“Tentu saja, tidak masalah, Shun. Apa gunanya sahabat, kan?” Mereka saling beradu kepalan tangan seperti biasa sebelum berpisah.
Bab 8: Tekad

Taro berhasil mengirimkan surat Shun kepada Rania. Dia menyerahkan surat yang ditulis sendiri ke Taro.
“Terima kasih, Taro-kun.”
-----
“Bagaimana dengan ini, Nishi-san?” tanya Shun.
“Tidak bagus. Lakukan sekali lagi.”
Hari demi hari, Shun meminta persetujuan dari Nishi tapi dia selalu menyuruhnya untuk lakukan sekali lagi.
“Haruskah aku melakukannya dengan cara ini...?” sepanjang hari Shun pikir bagaimana ia bisa memperbaiki tekniknya.

Sudah malam tiba, Nishi melihat Shun masih di pabrik.
“Shun? Kenapa kau masih di sini? Sudah larut malam. Kau harus tidur. Istirahat juga bagian dari pekerjaanmu.”
“Maafkan aku, Nishi-san. Aku masih...” Nishi melihat hijab yang dipegangnya.
“Shun, kemari dan duduk di sini.”
Shun berjalan menuju ke Nishi dan duduk disebelahnya.
“WAZA itu bukan sekadar teknik.
Ada banyak penyanyi yang raih sukses dengan lagu debutnya berbanding dengan lagu-lagu yang lain, kan? Ini mirip dengan itu.
Kamu tidak dapat menyentuh hati seseorang hanya dengan bakat saja.
Shun, selain bakat, kamu juga harus memberikan hati dan jiwamu dalam karya seni ciptaanmu.
Lakukanlah sambil memikirkan teman baikmu itu.”
Bab 9: Surat

“AKU BERHASIL!”
Setelah menerima persetujuan dari Nishi, dia akhirnya berhasil membuat hijab sutra. Para pekerja sangat senang dan berkongsi kegembiraannya.
“Bagus, Shun. Hanya kau yang bisa membuat hijab yang penuh dengan ketulusan.”
“Terima kasih, Nishi-san.”
-----
Sato sedang merokok di luar hotel ketika ia melihat Rania dan seorang bocah berbicara.
“Dari pakaiannya, dia tampak seperti seseorang dari daerah utara tapi... seperti ada yang mencurigakan di sini…”
Sato mengikuti bocah itu saat dia pergi.
“Ini suratmu.” Taro menyerahkannya padanya.
Shun dan Taro sedang berbicara apabila ada teriakan suara kedengaran dari belakang.
“Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?”
Mereke menoleh dan melihat Sato mengukir sebuah senyuman yang tidak menyenangkan di wajahnya.
Sato merampas surat itu dari Shun, melihat sekilas isinya.
“Sudah kukatakan, tak usah berharap, bukan?” Sato merobek surat itu di depan mereka.
“Suratku!” Shun berteriak.
“Berani kau merobek surat Shun!” Taro juga, kehilangan kesabarannya.
“Kamu berasal dari daerah utara, kan? Kau seharusnya memilih seorang teman yang bijak dengan benar.”
-----
Sementara itu, Rania memutuskan untuk memberitahu segalanya kepada ayahnya.
“Ayah, aku ingin menunjukkan surat-surat yang ia tulis kepadaku. Aku berharap bahwa melalui surat-surat ini, ayah dapat melihat bahwa ia adalah orang yang baik.”
“Baiklah, sayang. Aku akan membacanya.”
Bab 10: Terima Kasih

Rania berhasil menyanyikan lagu yang dia latih bersama Shun, di depan ayahnya.
“Shun-kun adalah orang yang telah mengajariku, Ayah.”
Dalam semua surat, Shun selalu menulis kata-kata semangat untuk Rania. Sewaktu ayah Rania membaca sekilas surat-surat itu, terdetik rasa bersalah.
“Aku salah menilai dia hanya dari tempat mereka lahir dan terlalu percayakan pada kabar angin.”
“Ayah, izinkan aku menemui Shun-kun.”
-----
“Shun! Temanmu dari luar negeri ada di sini.” Hide memanggil Shun.
“Berikan ini padanya...” Nishi menyerahkan hijab itu kepada Shun.
Shun bergegas keluar dan melihat Rania berdiri dengan seorang pria, yang dia pikir mungkin ayahnya.
Wajah mereka berbinar saat bertemu. Rania memperkenalkan Shun ke ayahnya.
“Shun-kun... aku ingin minta maaf atas apa yang terjadi... aku telah mendengar mengenai diskriminasi Sato terhadap kamu. Aku telah melaporkan tindakannya kepada atasannya. Jadi, jangan khawatir.”
Shun membungkuk dengan sopan.

“Rania-chan, aku punya sesuatu untukmu. Harap kamu suka.”
Begitu Rania membuka pengemasan itu, airmata mengalir tanpa henti.
“Ini... Shun-kun, kamu memberikan aku sehelai hijab? Dan warnanya sama dengan hijab ibuku…”
“Ya, aku membuatnya untukmu.”
Ayahnya memegang ujung kain hijab itu. Dia terus terpesona oleh tekstur halus dan ada sesuatu yang tak bisa diungkap dengan kata-kata saja.

“Apakah ini dibuat dari sutra?”
Shun mengangguk. Lalu, Nishi keluar dari pabrik dan menyambut kedatangan ayah Rania. Nishi mulai menjelaskan apa yang dilakukan YAMATO dan sutra mesra dicuci.
“Shun-kun, jika suatu hari aku pulang ke rumah, apakah kamu masih ingat sama aku?” tanya Rania.
“Tentu saja, Rania-chan. Kamu temanku. Aku tidak akan pernah melupakanmu.”

Ayah Rania tiba-tiba mendapat suatu ide dan berbicara dengan Nishi.
“Nishi-san, bisakah aku membeli hijab yang sama seperti punya Rania? Aku berniat mahu memberikan ini sebagai hadiah kepada permaisuri Sultan di negara asalku.”
“Permaisuri Sultan? Kami merasa terhormat untuk membuatnya untuk anda, tuan!”
Nishi dan Shun saling memandang sejenak dengan penuh kegembiraan.
Dia melihat ada pesan yang terselip bersama hijab itu.
“A-RI-GA-TOU”
@Ryota - Kepala Redaksi
@Nur Azimah - Tukang Cerita
Jared - Pelukis
Dengan bantuan Pabrik Tekstil Yamatou di Kyoto, kami dapat membuat “Hijab Sutra Mesra Cuci” seperti yang digambarkan dalam buku ini.
Sebuah ciptaan yang menggunakan teknik WAZA.
Kami sangat senang apabila anda mengingati “Hijab Sutra Mesra Cuci” sambil memberikannya sebagai hadiah untuk diri anda atau orang-orang tersayang.
Keuntungan yang diperolehi akan digunakan untuk mendukung kegiatan dalam menyampaikan cerita ini kepada kalian semua.
Jika anda suka dengan cerita ini, sila share ya! ARIGATO~